

Reporter: Rilis | Editor: ridwanshaleh
TitikKataPariwara – Mengapa Indonesia selalu tertinggal dalam transisi energi? Pertanyaan ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Mengelola Transisi Energi: Mengapa Indonesia Selalu Tertinggal?” yang digelar di Auditorium Benny Subianto, Universitas Paramadina Trinity Tower, Jakarta, Rabu (18/6/25).
Acara hasil kolaborasi antara Institut Harkat Negeri, Paramadina Public Policy Institute, dan Universitas Paramadina ini menghadirkan sejumlah tokoh lintas bidang energi dan ekonomi. Diskusi digelar secara hybrid dan dipandu oleh Sudirman Said, mantan Menteri ESDM sekaligus Ketua Institut Harkat Negeri.
Dalam forum tersebut, berbagai kritik dan analisis tajam mengemuka—mulai dari lemahnya arah kebijakan nasional, rendahnya konsumsi energi per kapita, hingga ketimpangan akses listrik di berbagai daerah.
Narasi Lingkungan Dinilai Tak Efektif
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyoroti lambannya pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Tanah Air. Menurutnya, dominasi narasi lingkungan justru kurang membumi bagi masyarakat Indonesia yang lebih membutuhkan pesan ekonomi konkret.
“Jika narasinya diubah menjadi pertumbuhan ekonomi dan kemandirian bangsa, hasilnya bisa jauh lebih besar,” ujarnya.
Wijayanto juga mengkritik lemahnya posisi EBT dalam dokumen strategis nasional seperti RPJMN dan RPJPN. Target-target seperti COP21 dan Just Energy Transition Partnership (JETP), katanya, kerap terkesan ambisius tanpa peta jalan yang jelas dan realistis.
Pemerintah Akui Tantangan Berat
Sementara itu, Dirjen EBTKE Prof. Dr. Eng. Eniya Listiani Dewi menyampaikan sejumlah perkembangan kebijakan. Salah satu langkah terbaru adalah masuknya hidrogen dan amoniak dalam bauran energi nasional melalui dokumen RUPTL dan RUKN.
Meski begitu, Eniya mengakui masih ada tantangan besar. “Konsumsi listrik per kapita kita masih rendah. Ketimpangan pasokan juga masih terjadi, terutama di wilayah seperti Sulawesi dan Jawa yang kini berstatus ‘lampu kuning’,” katanya.
Ketimpangan Energi dan Kritik untuk PLN
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengangkat isu keadilan energi. Menurutnya, meski rasio elektrifikasi tinggi, masih banyak masyarakat yang mengalami “kemiskinan energi”.
“Energi harus dilihat sebagai hak dasar, bukan sekadar barang teknis yang dikuasai segelintir akademisi atau konsultan mahal,” tegasnya.
Bhima juga mengkritik monopoli PLN dan kebijakan energi yang inkonsisten. Ia menyoroti ironi di balik ekspor-impor batu bara dan nikel yang justru melemahkan kemandirian energi nasional.
JETP dan Realitas di Lapangan
Dari sektor swasta, Paul Patar Butarbutar dari PT JJB Sustainergy menilai bahwa keberhasilan JETP sangat tergantung pada pendanaan dan regulasi yang jelas.
“Saat ini kita baru punya dana sekitar 2,56 miliar dolar AS. Jumlah itu sangat minim dibanding kebutuhan pembangunan PLTU dan EBT, termasuk jaringan transmisinya,” ujarnya.
Paul menekankan pentingnya insentif fiskal yang setara untuk EBT, kejelasan regulasi karbon, serta kontrak pembelian listrik (PPA) yang lebih bankable.
Transisi Energi Butuh Paradigma Baru
Diskusi ini menyimpulkan bahwa transisi energi Indonesia membutuhkan perubahan paradigma—dari sekadar agenda lingkungan menjadi strategi pembangunan ekonomi nasional. Pelibatan publik yang lebih luas, narasi yang membumi, serta kebijakan yang konsisten dinilai sebagai kunci percepatan. (01Tkt)
Tonton Berita Menarik Lainnya Di Sini